Jumat, 11 Januari 2008
TAHUN HIJRIYAH: TONGGAK KEJAYAAN PERADABAN ISLAM
(Q.S. Ali Imran [3]: 195).
Selasa, 08 Januari 2008
ZAKAT SEBAGAI ALTERNATIF DISTRIBUSI KESEJAHTERAAN DI INDONESIA
Semua umat Islam meyakini dan mengakui bahwasannya Islam merupakan agama rahmatan lil ‘aalamiin, yang mengajarkan kepada setiap umatnya untuk mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram, dan harmonis antara si miskin dan si kaya kapan dan dimanapun berada. Namun realitasnya, kondisi umat Islam sendiri masih jauh dari ideal, misalnya tingkat kemampuan ekonomi umat masih sangat rendah dan belum merata. Keadaan tersebut terjadi karena potensi-potensi yang dimiliki umat belum termanfaatkan dan dikembangkan secara optimal sehingga tidak mampu mengubah taraf kehidupan umat ke arah yang lebih baik. Zakat adalah salah satu di antara lima pilar yang menegakkan bangunan Islam. Di sisi lain, ia juga merupakan sebuah bentuk ibadah yang mempunyai keunikan tersendiri, karena di dalamnya terdapat dua dimensi sekaligus, yakni dimensi kepatuhan atau ketaatan dalam konteks hubungan antara hambah dan khalik, dan sekaligus dimensi kepedulian terhadap sesama makhluk Allah, khususnya hubungan sosial sesama manusia.
Selain itu zakat yang menjadi bagian dari rukun Islam, keberadaannya telah diatur sedemikian rupa dalam alqur’an dan assunnah, sehingga bila tidak dilaksanakan, yang bersangkutan bisa dikategorikan kufur. Salah satu potensi ajaran Islam yang belum ditangani dengan baik dan serius oleh pemerintah adalah zakat, yang secara bahasa berarti membersihkan, bertambah dan tumbuh. Zakat merupakan ibadah yang bercorak sosial-ekonomi, sebagai kewajiban seseorang muslim atau badan hukum yang dimilikinya untuk mengeluarkan sebagian hak miliknya kepada pihak yang berhak untuk menerimanya (mustahiq) agar tercipta pemerataan ekonomi yang berkeadilan.
Zakat merupakan ibadah yang mempunyai dimensi yang sangat luas. Bila dilihat dari sasarannya, zakat bukan hanya berdimensi sosial-agama, tetapi juga berdimensi sosial-politik. Ini dapat dilihat dari sasaran zakat yang berkaitan dengan pemerintah, yaitu penanganan muallaf (aspek dakwah) dan penegakan agama Allah (sabilillah). Oleh sebab itulah, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa dalam agama Islam harus ada jamaah dan kekuasaan yang mengumpulkan zakat melalui para petugasnya dan kemudian mengeluarkannya untuk menyebarkan dakwah menyebarkan agama Allah, yang termasuk ke dalam makna sabilillah.
Dalam zakat terdapat unsur mengembangkan sikap gotong-royong dan tolong-menolong. Sebab zakat dapat membantu orang-orang yang terjepit kebutuhan dan membatu menyelesaikan hutang bagi orang-orang yang sedang pailit. Zakat juga menolong orang-orang yang sedang dalam perantauan, pengungsi, sampai orangtua yang pikun atau jompo. Dengan zakat pula, dakwah Islam dapat diperluas cakupannya, termasuk untuk menjinakkan hati para muallaf. Misi sosial zakat yang begitu idealis tersebut tidak dapat dipenuhi dengan baik tanpa adanya lembaga pengelolaan zakat yang dijalankan secara profesional. Menurut Yusuf Qardhawi, zakat merupakan salah satu dari aturan jaminan sosial dalam Islam, dan Islam memperkenalkan aturan ini dalam ruang lingkup lebih luas dan mendalam yang mencakup semua segi kehidupan manusia
Zakat dipadang sebagai aturan jaminan sosial pertama yang tidak bergantung pada pertolongan penguasa secara sistematis. Tujuan akhirnya adalah memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, baik pangan, sandang, perumahan, maupun kebutuhan hidup lainnya. Pelaksanaan kewajiban zakat ini sangatlah penting, bahkan Allah sering mengaitkannnya dengan kewajiban melaksanakan sholat. Dalam penafsiran Muhammad Abduh, penggabungan antara sholat dan zakat menunjukan peran penting keduanya dalam kehidupan manusia. Dengan sholat setiap muslim diharapkan memiliki jiwa yang bersih dan suci dari perbuatan keji dan kotor. Sedangkan dengan zakat, umat Islam diharapkan menjadi masyarakat yang kokoh dan berpadu dalam segala bidang.
Pada masa awal Islam, zakat merupakan salah satu sumber pendanaan negara dan sangat berperan aktif dalam memberdayakan serta membangun kesejahteraan umat, terutama dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, menurut penulis, setidaknya terdapat tiga aspek yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban zakat. Pertama aspek moral dan psikologis, pada segi ini diharapkan zakat dapat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya yang memiliki kecenderungan cinta harta. Kedua aspek sosial, dalam hal ini zakat sebagai bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam untuk menghapus taraf kemiskinan masyarakat dan sekaligus menyadarkan orang-orang kaya akan tanggungjawab sosial yang yang dibebankan agama kepada mereka. Dan ketiga aspek ekonomi, di sini zakat difungsikan untuk mencegah penumpukan harta pada sebagian kecil orang dan mempersempit kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Dengan kata lain, zakat sebagai effort to flowing yang difungsikan sebagai pengendalian terhadap sifat manusia yang cenderung senang terhadap akumulasi kekayaan dan kehormatan sebagaimana firman Allah:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (QS. Ali Imran [3]: 14); bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai engkau masukke dalam kubur (QS. At-Takaatsuur [102]:1-2).
Peran zakat sangat penting dalam usaha pemberdayaan potensi ekonomi umat. Agar pelaksanaannya dapat efektif, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa urusan zakat sebaiknya jangan dikerjakan sendiri oleh muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), melainkan dipungut oleh petugas zakat yang telah ditunjuk oleh negara (dalam konteks Indonesia adalah Badan atau Lembaga Amil Zakat).
Betapa penting peran dan manfaat zakat sehingga pada masa Rasulullah SAW dan pemimpin Islam setelahnya tidak menyerahkan urusan zakat kepada kerelaan orang-perorang semata, tetapi menjadi tanggungjawab pemerintah (lembaga yang ditunjuk oleh negara), baik dalam proses pemungutan maupun pendistribusian. Oleh karenanya, yang aktif menarik dan mendistribusikan zakat adalah pejabat yang telah ditunjuk oleh negara. Dalam melaksanakan tugasnya mereka diberi kewenangan untuk menggunakan “paksaan” seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar r.a. dengan memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Pada akhirnya apabila zakat benar-benar dapat berjalan efektif, diharapkan tercapai sosial safety nets (kepastian terpenuhinya hak minimal kaum papa) serta berputarnya roda perekonomian umat, mendorong pemanfatan dana ‘diam’ (idle), mendorong inovasi dan penggunaan IPTEK serta harmonisasi hubungan si kaya dan si miskin. Sehingga pada akhirnya kehidupan umat yang ideal dengan sendirinya akan terwujud.
Wallahu a’lam.
Muh. Sofyan KS, SE.
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Islam (UII)
Yogyakarta.
MENGEJAR KEBAHAGIAAN
Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada di dalam diri
Malah seluruh dunia ada di dalam diri
Jadikan dirimu cinta
Supaya dapat memandang dunia
Pusatkan pikiran heningkan cipta
Siang malam, berjagalah!
Segala yang ada di sekelilingmu
Adalah buah amal perbuatanmu
(Sunan Bonang)
Bilamana Anda merasa bahagia? Apakah ketika Anda meraih kesuksesan, kekayaan, atau kesenangan? Jangan sampai Anda terjebak oleh kebahagiaan semu: ibarat musafir di padang sahara yang melihat fatamorgana dari kejauhan. Ini sebuah kisah yang menceritakan seorang pedagang kaya yang mempunyai empat orang istri. Dia sangat mencintai istri yang keempat, dan menganugerahinya harta dan kesenangan yang banyak. Sebab, dialah yang tercantik di antara semua istrinya. Pria itu selalu memberikan yang terbaik buat istri keempatnya ini. Pedagang itu juga mencintai istrinya yang ketiga. Dia sangat bangga dengan istrinya ini, dan selalu berusaha untuk memperkenalkan wanita ini kepada semua temannya. Namun, ia selalu khawatir kalau istrinya ini lari dengan pria lain.
Begitu juga dengan istri yang kedua. Ia pun sangat menyukainya. Ia adalah istri yang sabar dan pengertian. Kapan pun pedagang ini mendapat masalah, dia selalu meminta pertimbangan istrinya ini. Dialah tempat ia bergantung. Dia selalu menolong dan mendampingi suaminya, melewati masa-masa yang sulit.
Sama halnya dengan istri yang pertama. Dia adalah pasangan yang sangat setia. Dia selalu membawa perbaikan bagi kehidupan keluarga. Dialah yang merawat dan mengatur semua kekayaan dan usaha sang suami. Akan tetapi, pedagang itu tak begitu mencintainya. Walaupun sang istri pertama ini begitu sayang kepadanya, namun sang suami tak begitu mempedulikannya.
Suatu ketika, si pedagang sakit. Lama kemudian, ia menyadari bahwa ajalnya akan tiba. Dia meresapi semua kehidupan indahnya, dan berkata dalam hati: “Saat ini aku punya empat orang istri. Namun, saat aku meninggal, aku akan sendiri. Betapa menyedihkan jika aku harus hidup sendiri.”
Lalu ia meminta semua istrinya datang, dan kemudian mulai bertanya pada istri keempatnya, “Kaulah yang paling kucintai. Kuberikan kau gaun dan perhiasan yang indah. Nah, sekarang aku akan mati. Maukah kau mendampingiku dan menemaniku?” Ia terdiam. “Tentu saja tidak,” jawab istri keempat, lalu pergi begitu saja tanpa berkata-kata lagi. Jawaban ini sangat menyakitkan hati. Seakan-akan ada pisau yang terhunus dan mengiris-iris hatinya.
Pedagang yang sedih itu lalu bertanya pada istri ketiga, “Aku pun mencintaimu sepenuh hati. Saat ini, hidupku akan berakhir. Maukah kau ikut denganku dan menemani akhir hayatku?” Istrinya menjawab, “Hidup begitu indah di sini. Aku akan menikah lagi jika kau mati.” Sang pedagang begitu terpukul dengan ucapan ini. Badannya semakin lemas
Lalu ia bertanya pada istri keduanya, “Aku selalu berpaling padamu setiap kali mendapat masalah. Dan kau selalu mau membantuku. Kini, aku butuh sekali pertolonganmu. Kalau ku mati, maukah kau ikut dan mendampingiku?” Sang istri menjawab pelan. “Maafkan aku,” ujarnya, “Aku tak bisa menolongmu kali ini. Aku hanya bisa mengantarmu hingga ke liang kubur saja. Nanti akan kubuatkan makam yang indah buatmu.” Jawaban itu seperti kilat yang menyambar. Sang pedagang pun merasa putus asa.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara, “Aku akan tinggal denganmu. Aku akan ikut ke manapun kau pergi. Aku tak akan meninggalkanmu. Aku akan setia bersamamu.” Sang pedagang lalu menoleh ke sumber suara. Ia mendapati istri pertamanya di sana. Dia tampak begitu kurus. Badannya tampak seperti orang yang kelaparan. Merasa menyesal, sang pedagang lalu bergumam, “Kalau saja aku bisa merawatmu lebih baik saat kumampu, tak akan kubiarkan kau seperti ini, istriku.”
Hikmah apa yang bisa kita petik dari kisah ini? Sesungguhnya dalam hidup ini, kita punya empat istri. Istri yang keempat adalah tubuh kita. Seberapa pun banyak waktu dan biaya yang kita keluarkan untuk tubuh kita supaya tampak indah dan gagah, semuanya akan hilang. Ia akan pergi segera kalau kita meninggal. Tak ada keindahan dan kegagahan yang tersisa saat kita menghadap Sang Khaliq.
Istri yang ketiga adalah status sosial dan kekayaan. Saat kita meninggal, semuanya akan pergi kepada yang lain. Mereka akan berpindah dan melupakan kita yang pernah memilikinya. Sedangkan istri yang kedua adalah kerabat dan teman-teman. Seberapa pun dekat hubungan kita dengan mereka, mereka tak akan bisa bersama kita selamanya. Hanya sampai kuburlah mereka akan menemani kita.
Dan sesungguhnya, istri pertama adalah jiwa dan amal kita. Mungkin kita sering mengabaikan dan melupakannya demi kekayaan dan kesenangan pribadi. Namun sebenarnya, hanya jiwa dan amal kita sajalah yang mampu untuk terus setia dan mendampingi ke mana pun kita melangkah. Hanya amal yang mampu menolong kita di akhirat kelak. Jadi, selagi mampu, perlakukanlah jiwa dan amal kita dengan bijak. Tiada berguna menyesal belakangan.
Bahagia Itu Pilihan
Kita semua tentu mendambakan kebahagiaan. Bukan hanya di akhirat kelak, melainkan juga di dunia nyata yang sekarang. Hasrat inilah yang mendasari berbagai aktivitas kita agar kehidupan ini dirasakan berarti dan berharga. Abraham Maslow, tokoh psikologi humanistik, memopulerkan teori piramida kebutuhan (hierarki needs) manusia. Semakin tinggi bagian piramida, semakin abstrak pula kebutuhannya. Pada tingkat yang paling bawah, manusia hanya memenuhi kebutuhan makan dan minum (physiological needs). Ia hanya memuaskan kebutuhan biologisnya. Bila kebutuhan biologis itu sudah terpenuhi, kebutuhannya akan naik pada tingkat selanjutnya. Kebutuhan di atasnya adalah kebutuhan akan kasih sayang (belonging and love needs) serta ketenteraman dan rasa aman (safety needs). Lebih atas lagi adalah kebutuhan akan perhatian dan pengakuan (need for esteem). Lebih tinggi daripada itu adalah kebutuhan akan aktualisasi diri (need for self actualization).
Konon, sebelum ajal menjemput, Maslow sempat menyesal karena teori piramida kebutuhan manusia yang dibuatnya ternyata terbalik. Dia sadar, piramidanya membuat orang menjadi tamak, egois, dan materialistis. Sehingga orang tidak punya kepedulian sosial karena hanya mengejar kebutuhan dasar. Padahal, jika aktualisasi diri dipenuhi lebih dahulu, kebutuhan dasar dengan sendirinya akan terpenuhi. Belakangan Maslow menempatkan kebutuhan ruhaniah (transcendental needs) sebagai puncak kebutuhan manusia.
Mungkin banyak di antara kita yang meyakini bahwa bahagia itu apabila kita sukses, kaya, atau dapat menikmati beragam kesenangan. Keyakinan itu demikian kuat sehingga kita terpesona melihat orang yang memiliki salah satu atau ketiga-tiganya. Nyatanya, kekayaan dan kesuksesan tidak dapat membeli kebahagiaan. Semuanya hanyalah alat untuk mencapai kebahagiaan. Hasil kajian Paul Wachtel, ahli psikologi sosial, pada masyarakat Amerika menunjukkan bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup selalu berbanding terbalik dengan akumulasi kekayaan. Makin meningkat jumlah kekayaan materi yang dimiliki, makin meningkat pula jumlah permasalahan kehidupan, makin tinggi tingkat stres kehidupan, dan makin tidak bahagia kehidupan manusia.
Bagi seorang muslim, hakikat kebahagiaan terletak pada keridhaan Allah dalam setiap aktivitasnya. Ketika kita mampu mengendalikan semua kebutuhan dan keinginan kita agar bersesuaian dengan kehendak Allah, maka sikap tersebut akan mengantarkan kita kepada kebahagiaan. Ibnu Mas’ud ra berkata, “Sesungguhnya Allah dengan keadilan dan pengetahuan-Nya, menjadikan kebahagiaan dan suka cita di dalam sikap yang yakin dan ridha, dan menjadikan duka dan nestapa di dalam sikap ragu-ragu dan benci terhadap ketentuan-Nya.”
Mari kita coba renungkan ungkapan William Shakespeare berikut ini: “Jalan menuju kebahagiaan itu tidak ditaburi bunga mawar yang harum, melainkan penuh duri dan pahit.” Ya, meraih kebahagiaan memang bukan perkara mudah. Namun, kita hampir selalu bisa meraih cita-cita dan keinginan, karena kita adalah pribadi yang lebih sabar, lebih hati-hati, dan tak kenal lelah untuk berusaha meraih cita-cita dan keinginan baik itu. Dengan semua itu, apa yang dapat menghalangi kita untuk mengejar kebahagiaan?
Maha Benar Allah dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjuanglah di jalan Allah, supaya kamu memperoleh kebahagiaan.” (Q.S. Al-Maaidah [5]: 35)
Ardiman Adami
Mahasiswa Magister Profesi Psikologi UII