Semua umat Islam meyakini dan mengakui bahwasannya Islam merupakan agama rahmatan lil ‘aalamiin, yang mengajarkan kepada setiap umatnya untuk mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, tentram, dan harmonis antara si miskin dan si kaya kapan dan dimanapun berada. Namun realitasnya, kondisi umat Islam sendiri masih jauh dari ideal, misalnya tingkat kemampuan ekonomi umat masih sangat rendah dan belum merata. Keadaan tersebut terjadi karena potensi-potensi yang dimiliki umat belum termanfaatkan dan dikembangkan secara optimal sehingga tidak mampu mengubah taraf kehidupan umat ke arah yang lebih baik. Zakat adalah salah satu di antara lima pilar yang menegakkan bangunan Islam. Di sisi lain, ia juga merupakan sebuah bentuk ibadah yang mempunyai keunikan tersendiri, karena di dalamnya terdapat dua dimensi sekaligus, yakni dimensi kepatuhan atau ketaatan dalam konteks hubungan antara hambah dan khalik, dan sekaligus dimensi kepedulian terhadap sesama makhluk Allah, khususnya hubungan sosial sesama manusia.
Selain itu zakat yang menjadi bagian dari rukun Islam, keberadaannya telah diatur sedemikian rupa dalam alqur’an dan assunnah, sehingga bila tidak dilaksanakan, yang bersangkutan bisa dikategorikan kufur. Salah satu potensi ajaran Islam yang belum ditangani dengan baik dan serius oleh pemerintah adalah zakat, yang secara bahasa berarti membersihkan, bertambah dan tumbuh. Zakat merupakan ibadah yang bercorak sosial-ekonomi, sebagai kewajiban seseorang muslim atau badan hukum yang dimilikinya untuk mengeluarkan sebagian hak miliknya kepada pihak yang berhak untuk menerimanya (mustahiq) agar tercipta pemerataan ekonomi yang berkeadilan.
Zakat merupakan ibadah yang mempunyai dimensi yang sangat luas. Bila dilihat dari sasarannya, zakat bukan hanya berdimensi sosial-agama, tetapi juga berdimensi sosial-politik. Ini dapat dilihat dari sasaran zakat yang berkaitan dengan pemerintah, yaitu penanganan muallaf (aspek dakwah) dan penegakan agama Allah (sabilillah). Oleh sebab itulah, Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa dalam agama Islam harus ada jamaah dan kekuasaan yang mengumpulkan zakat melalui para petugasnya dan kemudian mengeluarkannya untuk menyebarkan dakwah menyebarkan agama Allah, yang termasuk ke dalam makna sabilillah.
Dalam zakat terdapat unsur mengembangkan sikap gotong-royong dan tolong-menolong. Sebab zakat dapat membantu orang-orang yang terjepit kebutuhan dan membatu menyelesaikan hutang bagi orang-orang yang sedang pailit. Zakat juga menolong orang-orang yang sedang dalam perantauan, pengungsi, sampai orangtua yang pikun atau jompo. Dengan zakat pula, dakwah Islam dapat diperluas cakupannya, termasuk untuk menjinakkan hati para muallaf. Misi sosial zakat yang begitu idealis tersebut tidak dapat dipenuhi dengan baik tanpa adanya lembaga pengelolaan zakat yang dijalankan secara profesional. Menurut Yusuf Qardhawi, zakat merupakan salah satu dari aturan jaminan sosial dalam Islam, dan Islam memperkenalkan aturan ini dalam ruang lingkup lebih luas dan mendalam yang mencakup semua segi kehidupan manusia
Zakat dipadang sebagai aturan jaminan sosial pertama yang tidak bergantung pada pertolongan penguasa secara sistematis. Tujuan akhirnya adalah memenuhi kebutuhan orang-orang yang membutuhkan, baik pangan, sandang, perumahan, maupun kebutuhan hidup lainnya. Pelaksanaan kewajiban zakat ini sangatlah penting, bahkan Allah sering mengaitkannnya dengan kewajiban melaksanakan sholat. Dalam penafsiran Muhammad Abduh, penggabungan antara sholat dan zakat menunjukan peran penting keduanya dalam kehidupan manusia. Dengan sholat setiap muslim diharapkan memiliki jiwa yang bersih dan suci dari perbuatan keji dan kotor. Sedangkan dengan zakat, umat Islam diharapkan menjadi masyarakat yang kokoh dan berpadu dalam segala bidang.
Pada masa awal Islam, zakat merupakan salah satu sumber pendanaan negara dan sangat berperan aktif dalam memberdayakan serta membangun kesejahteraan umat, terutama dalam bidang ekonomi. Oleh karena itu, menurut penulis, setidaknya terdapat tiga aspek yang terkait dengan pelaksanaan kewajiban zakat. Pertama aspek moral dan psikologis, pada segi ini diharapkan zakat dapat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya yang memiliki kecenderungan cinta harta. Kedua aspek sosial, dalam hal ini zakat sebagai bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam untuk menghapus taraf kemiskinan masyarakat dan sekaligus menyadarkan orang-orang kaya akan tanggungjawab sosial yang yang dibebankan agama kepada mereka. Dan ketiga aspek ekonomi, di sini zakat difungsikan untuk mencegah penumpukan harta pada sebagian kecil orang dan mempersempit kesenjangan ekonomi dalam masyarakat. Dengan kata lain, zakat sebagai effort to flowing yang difungsikan sebagai pengendalian terhadap sifat manusia yang cenderung senang terhadap akumulasi kekayaan dan kehormatan sebagaimana firman Allah:
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) (QS. Ali Imran [3]: 14); bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai engkau masukke dalam kubur (QS. At-Takaatsuur [102]:1-2).
Peran zakat sangat penting dalam usaha pemberdayaan potensi ekonomi umat. Agar pelaksanaannya dapat efektif, Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa urusan zakat sebaiknya jangan dikerjakan sendiri oleh muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), melainkan dipungut oleh petugas zakat yang telah ditunjuk oleh negara (dalam konteks Indonesia adalah Badan atau Lembaga Amil Zakat).
Betapa penting peran dan manfaat zakat sehingga pada masa Rasulullah SAW dan pemimpin Islam setelahnya tidak menyerahkan urusan zakat kepada kerelaan orang-perorang semata, tetapi menjadi tanggungjawab pemerintah (lembaga yang ditunjuk oleh negara), baik dalam proses pemungutan maupun pendistribusian. Oleh karenanya, yang aktif menarik dan mendistribusikan zakat adalah pejabat yang telah ditunjuk oleh negara. Dalam melaksanakan tugasnya mereka diberi kewenangan untuk menggunakan “paksaan” seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar r.a. dengan memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Pada akhirnya apabila zakat benar-benar dapat berjalan efektif, diharapkan tercapai sosial safety nets (kepastian terpenuhinya hak minimal kaum papa) serta berputarnya roda perekonomian umat, mendorong pemanfatan dana ‘diam’ (idle), mendorong inovasi dan penggunaan IPTEK serta harmonisasi hubungan si kaya dan si miskin. Sehingga pada akhirnya kehidupan umat yang ideal dengan sendirinya akan terwujud.
Wallahu a’lam.
Muh. Sofyan KS, SE.
Mahasiswa Fakultas Ekonomi Islam (UII)
Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar